Plurk Stat's

Friday, July 16, 2010

Seputar Peristiwa Agresi Militer Belanda II dan Serangan Umum 1 Maret 1949 Sejarah Indonesia penuh dengan kontroversi,. Ada berbagai versi (bingung ma

Sejarah Indonesia penuh dengan kontroversi,. Ada berbagai versi (bingung mana yg betul),. Misalnya mengenai penggagas utama “Serangan Umum 1 Maret 1949” kalo yg ane ingat waktu sekolah dulu, Serangan itu adalah Inisiatif Briliant Letkol Soeharto,. Ada juga buku yg mengatakan hal itu adalah gagasan Sri Sultan Hemangkubowono IX,. Nah, artikel ini menceritakan versi lain mengenai siapa sebenarnya “penggagas utama” Serangan Umum 1 Maret 1949, dan ternyata bukan mereka berdua,. Jadi diharapkan artikel ini bisa menjadi “masukan” lain, selain yg kita pelajari di bangku sekolah

Sebelum Membaca Artikel ini ada baiknya,. Tarik nafas dalam2, sediakan secangkir kopi atau kalo ada snack berupa roti atau gorengan,. Karena dijamin anda akan sesak napas (soalnya artikelnya panjang bro)
=======================================

Seputar Peristiwa Agresi Militer Belanda II dan Serangan Umum 1 Maret 1949

Agresi Militer Belanda II

Tanggal 6 Agustus 1948, Dr. Willem Drees dari Partij van de Arbeid, menjadi Perdana Menteri kabinet koalisi bersama Partai Katolik (Katholieke Volkspartij). Dia menggantikan Dr. L.J.M. Beel, yang kemudian diangkat menjadi Hooge Vertegenwoordiger van de Kroon (Wakil Tinggi Mahkota) Belanda di Indonesia. Beel menggantikan posisi van Mook sebagai Wakil Gubernur Jenderal. Jabatan Gubernur Jenderal dan Wakil Gubernur Jenderal dihapus. Willem Drees, pernah menjadi Menteri Sosial di kabinet Schermerhorn dan kemudian di kabinet Beel. Drees menjadi Perdana Menteri Belanda dari tahun 1948 – 1958.

Pengangkatan Dr. Beel menjadi Wakil Tinggi Mahkota menunjukkan, betapa pentingnya masalah Indonesia bagi Belanda. Dengan demikian setelah Profesor Schermerhorn, Dr. Beel adalah mantan Perdana Menteri Belanda kedua yang dipercayakan untuk menyelesaikan masalah Indonesia.

Berbeda dengan Profesor Schermerhorn yang sosialis, Beel termasuk kelompok garis keras dan dekat dengan kalangan pengusaha di Belanda, yang tidak ingin memberikan konsesi apa pun kepada pihak Republik. Dengan pengangkatan Dr. Beel, Belanda telah menunjukkan sikap kerasnya, dan Letnan Jenderal Spoor yang memang ingin menghancurkan TNI, mendapat dukungan politik.

Pada 11 Desember 1948 Belanda menyatakan tidak bersedia lagi melanjutkan perundingan dengan pihak Republik, dan pada 13 Desember 1948, Belanda mengumumkan berdirinya Pemerintah Peralihan di Indonesia (Bewindvoering Indonesie in Overgangstijd –BIO).yang rencananya hanya terdiri dari negara- negara boneka, yang tergabung dalam Bijeenkomst voor Federaale Overleg –BFO- (Musyawarah Negara Federal), tanpa ikut sertanya Republik Indonesia.

Dalam suatu sidang kabinet, sesuai dengan hasil pembicaraan dalam sidang Dewan Siasat Militer beberapa waktu sebelumnya, diputuskan untuk segera memberangkatkan Presiden Sukarno ke India. Untuk tidak menimbulkan kecurigaan Belanda, alasan yang akan dikemukakan adalah suatu kunjungan resmi kenegaraan. Hal tersebut disampaikan kepada Wakil India di Yogyakarta, Mr. Yunus, yang segera meneruskan kepada Perdana Menteri India. Perdana Menteri Nehru menyetujuinya dan bahkan mengirim pesawat terbang untuk menjemput Presiden Sukarno. Direncanakan, Presiden Sukarno akan berangkat ke India tanggal 15 Desember 1948 dan akan ditemani antara lain oleh Komodor Udara Suriadarma, namun pesawat yang dikirim oleh Perdana Menteri India, ditahan oleh Belanda di Jakarta dan tidak diizinkan melanjutkan penerbangan ke Yogyakarta. Malam sebelumnya, Presiden Sukarno bahkan telah menyampaikan pidato perpisahan.

Tanggal 17 Desember, melalui Ketua KTN Merle Cochran, yang sejak bulan Oktober 1948 menggantikan Dubois, Wakil Presiden Hatta yang juga ketua delegasi Indonesia, mengirim surat kepada Dr. Beel, yang berisi jawaban pihak Indonesia atas permintaan Belanda mengenai rencana pembentukan BIO.

Karena penyakit paru yang dideritanya, sejak bulan Oktober 1948 Panglima Besar harus dirawat di rumah sakit, sehingga tugas sehari-hari dilaksanakan oleh para Wakil Kepala Staf Angkatan Perang. Namun firasat Sudirman yang kuat, mendorongnya pada 18 Desember 1948 untuk menyatakan, bahwa mulai hari itu, dia mengambil alih kembali komando Angkatan Perang (KSAP) Republik Indonesia.

Kol. T.B. Simatupang, waktu itu adalah Wakil II KSAP mencatat:
Pada tanggal 18 Desember pagi saya mengunjungi Pak Dirman yang sejak tiga bulan tidak dapat lagi bangun dari tempat tidurnya. Pada kesempatan itu saya laporkan kepada Pak Dirman bahwa pada satu pihak kita menganggap keadaan cukup genting, tetapi pada pihak lain menurut anggapan pimpinan politik, secara politis Belanda belum dapat memulai serangan selama surat-menyurat melalui wakil Amerika Serikat dalam KTN belum putus. Penyerangan oleh pihak Belanda dalam keadaan seperti itu merupakan politik gila, demikian pendapat di kalangan-kalangan politik. Walau pun begitu rupanya Pak Dirman telah mempunyai firasat bahwa Belanda akan menyerang juga. Pada hari itu Pak Dirman mengeluarkan pengumuman bahwa beliau telah memegang kembali komando.


Tanggal 18 Desember 1948 pukul 23.30, siaran radio Belanda dari Jakarta menyebutkan, bahwa besok pagi Wakil Tinggi Mahkota Belanda, Dr. Beel, akan menyampaikan pidato yang penting.

Sementara itu Jenderal Spoor yang telah berbulan-bulan mempersiapkan rencana “pemusnahan” TNI memberikan instruksi kepada seluruh tentara Belanda di Jawa dan Sumatera untuk memulai penyerangan terhadap kubu Republik. Operasi tersebut dinamakan “Operasi Kraai.” Pukul 02.00 pagi 1e para-compgnie (pasukan para I) dari Korps Speciaale Troepen (KST) di Andir memperoleh parasut mereka dan memulai masuk ke enambelas pesawat transportasi. Pukul 03.30 dilakukan briefing terakhir. Pukul 03.45 Mayor Jenderal Engles tiba di bandar udara Andir, diikuti oleh Jenderal Spoor 15 menit kemudian. Dia melakukan inspeksi dan mengucapkan pidato singkat. Pukul 04.20 pasukan elit KST di bawah pimpinan Kapten Eekhout naik ke pesawat dan pukul 4.30 pesawat Dakota pertama tinggal landas. Rute penerbangan ke arah timur menuju Maguwo diambil melalui Lautan Hindia. Pukul 06.25 mereka menerima berita dari para pilot pesawat pemburu, bahwa zona penerjunan telah dapat dipergunakan. Pukul 06.45 pasukan para mulai diterjunkan di Maguwo.

Seiring dengan penyerangan terhadap bandar udara Maguwo, pagi hari tanggal 19 Desember 1948, WTM Beel berpidato di radio dan menyatakan, bahwa Belanda tidak lagi terikat dengan Persetujuan Renville . Seiring dengan penyerangan terhadap bandar udara Maguwo, pagi hari tanggal 19 Desember 1948, WTM Beel berpidato di radio dan menyatakan, bahwa Belanda tidak lagi terikat dengan Persetujuan Renville. Penyerbuan terhadap semua wilayah Republik di Jawa dan Sumatera, termasuk serangan terhadap Ibukota RI, Yogyakarta, yang kemudian dikenal sebagai Agresi II telah dimulai. Belanda konsisten dengan menamakan agresi militer ini sebagai “Aksi Polisional.”

Penyerangan terhadap Ibukota Republik, diawali dengan pemboman atas lapangan terbang Maguwo, di pagi hari. Pertempuran merebut Maguwo hanya berlangsung sekitar 25 menit. Pukul 07.10 bandara Maguwo telah jatuh ke tangan pasukan Kapten Eekhout. Di pihak Republik tercatat 128 tentara tewas, sedangkan di pihak penyerang, tak satu pun jatuh korban.

Sekitar pukul 09.00, seluruh 432 anggota pasukan KST telah mendarat di Maguwo, dan pukul 11.00, seluruh kekuatan Grup Tempur M sebanyak 2.600 orang termasuk dua batalyon, 1.900 orang, dari Brigade T- beserta persenjataan beratnya di bawah pimpinan Kolonel D.R.A. van Langen telah terkumpul di Maguwo dan mulai bergerak ke Yogyakarta.

Serangan terhadap Yogyakarta juga dimulai dengan pemboman serta menerjunkan pasukan payung di kota Yogyakarta. Di daerah-daerah lain di Jawa antara lain di Jawa Timur, dilaporkan bahwa penyerangan bahkan telah dilakukan sejak tanggal 18 Desember malam hari.

Segera setelah mendengar berita bahwa tentara Belanda telah memulai serangannya, Panglima Besar mengeluarkan perintah kilat yang dibacakan di radio tanggal 19 Desember 1948 pukul 08.00:

PERINTAH KILAT
No. I/P.B./D/1948
1. Kita telah diserang.
2. Pada tanggal 19 Desember 1948 Angkatan Perang Belanda menyerang kota Yogyakarta dan lapangan terbang Maguwo.
3. Pemerintah Belanda telah membatalkan persetujuan Gencatan Senjata.
4. Semua Angkatan Perang menjalankan rencana yang telah ditetapkan untuk menghadapi serangan Belanda.

Dikeluarkan di tempat
Tanggal - 19 Desember 1948
Jam - 08.00
Panglima Besar Angkatan Perang
Republik Indonesia

Letnan Jenderal Sudirman
Setelah itu, Jenderal Sudirman berangkat ke Istana Presiden, di mana kemudian dia didampingi oleh Kolonel Simatupang, Komodor Suriadarma serta dr. Suwondo, dokter pribadinya. Kabinet mengadakan sidang dari pagi sampai siang hari. Karena merasa tidak diundang, Jenderal Sudirman dan para perwira TNI lainnya menunggu di luar ruang sidang. Setelah mempertimbangkan segala kemungkinan yang dapat terjadi, akhirnya Pemerintah Indonesia memutuskan untuk tidak meninggalkan Ibukota.

Sesuai dengan rencana yang telah dipersiapkan oleh Dewan Siasat, yaitu basis pemerintahan sipil akan dibentuk di Sumatera, maka Presiden dan Wakil Presiden membuat surat kuasa yang ditujukan kepada Mr. Syafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran yang sedang berada di Bukittinggi. Isi Surat Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Hatta adalah sebagai berikut:

Kami Presiden RI memberitahukan bahwa pada hari Minggu, tanggal 19 Desember 1948, pukul 6 pagi, Belanda telah memulai serangannya atas Ibukota Yogyakarta. Jika dalam keadaan Pemerintah tidak dapat menjalankan kewajibannya lagi, kami menguasakan pada Mr. Syafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran Republik Indonesia untuk membentuk Pemerintah Darurat di Sumatera.

Yogyakarta, 19 Desember 1948

Presiden Wakil Presiden
Sukarno Mohammad Hatta
Selain itu, untuk menjaga kemungkinan bahwa Syafruddin tidak berhasil membentuk pemerintahan di Sumatera, juga dibuat surat untuk Duta Besar RI untuk India, dr. Sudarsono, serta staf Kedutaan RI, L.N. Palar dan Menteri Keuangan Mr. A.A. Maramis yang sedang berada di New Delhi yang isinya:

Pro: dr. Sudarsono/Palar/Mr. Maramis. New Delhi.
Jika ikhtiar Syafruddin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintahan Darurat di Sumatra tidak berhasil, kepada Saudara-saudara dikuasakan untuk membentuk “Exile Government of the Republic of Indonesia” di India.
Harap dalam hal ini berhubungan dengan Syafruddin di Sumatra. Jika hubungan tidak mungkin, harap diambil tindakan-tindakan seperlunya.

Yogyakarta, 19 Desember 1948

Wakil Presiden Menteri Luar Negeri

Mohammad Hatta - Agus Salim
Penangkapan terhadap pimpinan pemerintah Indonesia serta serangan terhadap pasukan Indonesia, dilakukan oleh tentara Belanda di seluruh wilayah Republik Indonesia waktu itu, yaitu di Sumatera, Jawa dan Madura. Seluruh perwira dan prajurit TNI serta laskar-laskar yang belum sempat diintegrasikan ke dalam TNI, segera ke luar kota, demikian juga di Yogyakarta. Masing-masing satuan menuju ke tempat yang telah dipersiapkan sebelumnya. Perintah yang tertuang dalam “Siasat No. 1” dilaksanakan, yaitu sambil mundur ke wilayah pegunungan, bumi hangus segera dilakukan, terutama menghancurkan jembatan-jembatan agar supaya tidak dapat dilalui kendaraan militer Belanda. Perang gerilya dimulai!

Setelah berita mengenai agresi militer Belanda yang dilancarkan pada 19 Desember 1949 disiarkan di seluruh dunia, berbagai kritik dan bahkan kecaman tajam dilontarkan oleh banyak negara terhadap pemerintah Belanda. Bahkan tanggal 20 Desember, berarti sehari setelah agresi militer Belanda, Dewan Keamanan PBB segera bersidang di Lake Success, dan kemudian dilanjutkan tanggal 22 Desember di Paris, yang juga dihadiri oleh utusan KTN (Komisi Tiga Negara) yang datang dari Indonesia dan memberikan laporannya. Pada sidang tersebut, Uni Sovyet mengusulkan agar Belanda secara resmi dicap sebagai agresor, namun usul tersebut ditolak oleh sidang. Dewan Keamanan menerima usul Amerika Serikat, Siria dan Kolumbia, yaitu agar tembak-menembak segera dihentikan, dan semua orang Indonesia yang ditahan oleh Belanda, dibebaskan. Kemudian Dewan Keamanan menerima usul resolusi dari wakil Ukraina, Vassily A. Tanassenko, dan mengeluarkan Resolusi Dewan Keamanan tertanggal 24 Desember 1948, yang isinya menyerukan kepada Belanda untuk segera menghentikan aksi militernya . Karena tidak dipatuhi oleh Belanda, Dewan Keamanan mengeluarkan lagi resolusi tanggal 28 Desember, dengan tambahan agar pembesar-pembesar Republik Indonesia yang ditawan, dibebaskan tanpa syarat dalam waktu 24 jam . Kedua resolusi tersebut juga diabaikan oleh Belanda.

Tanggal 31 Desember, Panglima Tertinggi Tentara Belanda di Indonesia, Jenderal Simon H. Spoor, mengumumkan penghentian tembak-menembak yang tampaknya hanya sekadar basa-basi -berlaku di atas kertas saja- karena setelah itu, tentara KNIL di seluruh Indonesia terus melancarkan serangan terhadap tentara Indonesia di wilayah Republik, serta menangkap pimpinan Repulik. Perdana Menteri Belanda, Dr. Willem Drees, menyatakan bahwa “aksi polisional” mereka telah selesai, dan Republik Indonesia sudah tidak ada lagi.

Pemerintah Belanda nampaknya tidak menduga reaksi keras dari dunia internasional, terutama dari Pemerintah dan Senat Amerika Serikat, serta Dewan Keamanan PBB, yang segera mengeluarkan dua resolusi berturut-turut.

Kesibukan luar biasa timbul di negeri Belanda, baik di kalangan pemerintah maupun di Parlemen. Akhirnya diputuskan, bahwa Perdana Menteri Dr. Drees harus segera ke Jakarta untuk memantau situasi serta berunding dengan berbagai pihak di Indonesia. Drees berangkat ke Jakarta tanggal 4 Januari, dan kembali ke negeri Belanda tanggal 20 Januari; berarti dia tinggal di Indonesia selama 16 hari. Sungguh luar biasa, bagi seorang Perdana Menteri yang belum lama menjabat, pergi ke luar negeri untuk waktu yang cukup lama. Ini menunjukkan, bahwa masalah yang dihadapi Pemerintah Belanda, bukanlah masalah kecil dan tidak mudah untuk menyelesaikannya.


Merle Cochran, wakil Amerika Serikat yang ditunjuk sebagai Ketua KTN, awal Januari dipanggil oleh Dewan Keamanan untuk memberikan laporannya mengenai situasi di Indonesia. Dalam Sidang Dewan Keamanan yang dilangsungkan di Lake Success tanggal 7 Januari 1949, wakil Amerika Serikat di Dewan Keamanan PBB, Philip Jessup menyampaikan sikap Pemerintah Amerika Serikat, yang lebih tegas daripada yang dikemukakan oleh Lovett tanggal 23 Desember 1948.

Tamparan pertama dari pihak BFO adalah pengunduran diri Ketua “Negara Pasundan”, Mr. Adil Puradireja, sebagai protes terhadap agresi militer Belanda tersebut.

Di PBB dan di dunia internasional, terjadi perang diplomasi antara Republik Indonesia dan Belanda. Tokoh-tokoh Republik di luar negeri berusaha untuk membuktikan kepada dunia internasional, bahwa Republik Indonesia dan TNI masih eksis. Di pihak lain, Belanda terus berusaha untuk meyakinkan negara-negara lain di PBB, bahwa Republik Indonesia dengan TNI-nya sudah tidak ada. KTN (Komisi Tiga Negara) masih tetap ada di Yogyakarta untuk mengadakan pemantauan situasi, dan selalu memberikan laporan kepada Dewan Keamanan PBB.

Sejak pengaduan Republik kepada Dewan Keamanan PBB atas pelanggaran Perjanjian Linggajati yang dilakukan Belanda dengan melancarkan agresi militer pertama pada 21 Juli 1947, The Indonesian Question (Masalah Indonesia) tidak henti-hentinya ada di dalam agenda Dewan Keamanan PBB. Berbagai resolusi telah dikeluarkan sejak tahun 1947, namun Belanda masih tetap keras kepala dan tidak mau melihat kenyataan, bahwa Kemerdekaan Republik Indonesia tidak dapat dihalangi lagi. Belanda melawan opini dunia dan masih berusaha memutar balik jarum jam sejarah.

Di PBB makin banyak negara termasuk Amerika Serikat, yang tidak percaya dengan versi Belanda. Beberapa negara melancarkan inisiatif untuk mendesak Belanda keluar dari Indonesia dan mengakui kedaulatan Republik Indonesia. Terutama adalah Amerika Serikat yang ingin segera dihentikannya pertempuran di Indonesia dan telah memberikan isyarat, bahwa AS menyetujui pengakuan kedaulatan RI. Hal ini sebenarnya tidak terlepas dari strategi global AS untuk menghadang komunisme, berdasarkan teori dominonya pada waktu itu. AS sangat kuatir, karena Uni Sovyet melancarkan propaganda dengan mengidentiskan kolonialisme dengan kapitalisme. Perang dingin ideologi telah dimulai sejak tahun 1945, diawali di Konferensi Yalta. Berbagai kalangan di Amerika Serikat mendesak Pemerintah Amerika Serikat agar membekukan bantuan untuk negeri Belanda dalam rangka Marshall Plan (European Recovery Programm, program pemulihan/pembangunan Eropa, setelah Perang Dunia II), karena mereka menilai, Belanda menggunakan dana bantuan tersebut untuk membiayai agresi militer di Indonesia, yang diperkirakan menelan biaya sebesar satu juta US $/hari.

Setelah Dewan Keamanan melihat bahwa Belanda tidak mematuhi Resolusi Dewan Keamanan tanggal 24 Desember 1948 dan 28 Desember 1948, awal Januari 1949 Dewan Keamanan menggelar sidang lagi untuk membahas masalah agresi militer Belanda. Amerika Serikat dan Uni Sovyet saling menuduh, bahwa yang dilakukan oleh masing-masing negara tersebut hanyalah agar Republik Indonesia tidak masuk ke bawah pengaruh negara lawan politisnya.

Pada 22 Desember 1948, Kolonel Nasution selaku Panglima Tentara dan Teritorium Jawa mengeluarkan maklumat yang isinya:

Markas Besar Komando
Jawa
Maklumat No. 2/MBKD

Berhubung dengan keadaan perang, maka berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 30 dan 70, kami maklumkan berlakunya Pemerintahan Militair untuk seluruh Pulau Jawa.
Dikeluarkan: di tempat
Pada tanggal: 22 Dec.'49
Pada jam: 08.00

Panglima Tentara dan
Teritorium Jawa

Ttd.
(Kol. A.H. Nasution)

Kepada:
1. Semua Div.
2. - id - Bd.
3. - id - STC
4. Residen

Divisi III di bawah Kolonel Bambang Sugeng bermarkas di desa Kaliangkrik, dan sesuai dengan Perintah Siasat No. 1 dari Panglima Besar, di daerah gerilya dibentuk Wehrkreise (Wehrkreis, bahasa Jerman, artinya: Wilayah Pertahanan) dan Subwehrkreise (SWK). Pembagian Wehrkreise (WK) di wilayah Divisi III/Gubernur Militer III adalah:
Wehrkreis I dipimpin oleh Letnan Kolonel M. Bachrun. Wilayahnya meliputi Karesidenan Pekalongan, Banyumas dan Wonosobo, bermarkas di Desa Makam.
Wehrkreis II dipimpin oleh Letnan Kolonel Sarbini. Wilayahnya meliputi Kedu dan Kabupaten Kendal, bermarkas di Bruno.
Wehrkreis III dipimpin oleh Letnan Kolonel Suharto. Wilayahnya meliputi Yogyakarta dengan Pos Komandonya di Pegunungan Menoreh.


Beberapa hari setelah bermarkas di Gunung Sumbing, para gerilyawan telah dapat membuka jalur komunikasi dan surat menyurat dengan pimpinan sipil yang berada di kota Yogyakarta. Jalur radio dan telegram juga dapat difungsikan dalam waktu relatif singkat. Dengan cara estafet, pemberitaan melalui radio dari Gunung Sumbing dapat mencapai New York, a.l. melalui pemancar radio AURI di Playen, dekat Wonosari, yang siarannya dapat ditangkap di Bukittinggi, kemudian diteruskan ke Kotaraja. Siaran dari Kotaraja ini dapat ditangkap di Singapura dan Birma, dan siaran dari Birma dapat ditangkap di New Delhi, India. Dengan adanya pemancar-pemancar radio tersebut, pimpinan Tentara Nasional Indonesia yang bergerilya dapat terus saling berkomunikasi dan semua kegiatan dapat disampaikan secara estafet ke Singapura, New Delhi bahkan sampai ke New York.

Begitu juga jaringan teritorial yang telah dipersiapkan beberapa bulan sebelum serangan Belanda tanggal 19 Desember 1948 berfungsi dengan baik, sehingga para Panglima/Gubernur Militer dapat selalu berhubungan dengan Panglima Besar Sudirman yang juga adalah Kepala Staf Angkatan Perang. Hirarki kemiliteran tetap berfungsi selama perang gerilya. Mengenai perjalanannya di Jawa yang dimulai tanggal 25 Februari 1949, Simatupang mencatat:

"Organisasi teritorial kita telah cukup teratur pada waktu itu, sehingga kami tidak usah membawa apa-apa selain daripada sekadar pakaian, sebab di mana-mana organisasi teritorial itu akan menyediakan penunjuk jalan, tenaga-tenaga pengangkut barang, tempat tidur, makanan dan di daerah-daerah yang kurang aman, pengawalan."


Setelah melalui serangkaian perdebatan dan sanggahan dari wakil Belanda, akhirnya Dewan Keamanan PBB menerima usulan yang dimajukan oleh Amerika Serikat bersama Kuba, Norwegia dan Cina (Taiwan-pen.), yang isinya a.l. menyerukan penghentian pertempuran dan mendesak Belanda untuk memulai perundingan dengan pihak Republik Indonesia, guna membicarakan pengakuan/penyerahan kedaulatan kepada RI. Pada tanggal 28 Januari 1948, Dewan Keamanan PBB menerima usulan 4 negara tersebut dan menetapkan sebagai Resolusi PBB No. 67, tanggal 28 Januari 1949, mengenai "The Indonesian Question."

Resolusi Dewan Keamanan, 28 Januari 1949.

Dewan Keamanan,
dengan mengingat resolusinya tanggal 1 Agustus 1947, 25 Agustus 1947 dan 1 November 1947 tentang masalah Indonesia;
dengan memperhatikan dan menyetujui laporan-laporan yang diajukan oleh Komisi Jasa Baik untuk Indonesia (Committee of Good Offices for Indonesia);
menimbang bahwa resolusinya tanggal 24 Desember 1948 dan 28 Desember 1948 tidak dijalankan sepenuhnya;
menimbang, bahwa masih didudukinya daerah Republik Indonesia oleh pasukan-pasukan bersenjata Belanda adalah tidak sesuai dengan usaha untuk kembalinya hubungan baik antara kedua belah fihak dan untuk tercapainya penyelesaian akhir yang adil dan kekal atas sengketa tentang Indonesia;
menimbang, bahwa mengadakan dan memelihara keamanan di seluruh Indonesia adalah syarat yang perlu untuk mencapai maksud dan keinginan kedua belah fihak;
mendengar dengan puas, bahwa kedua belah fihak tetap berpegang teguh pada asas-asas Persetujuan Renville dan menyetujui akan diadakannya pemilihan umum yang bebas dan demokratis di seluruh Indonesia dengan maksud untuk mendirikan suatu Constituent Assembly (Badan Pembentuk Undang-undang) secepat-cepatnya, serta menyetujui pula bahwa Dewan Keamanan akan mengawasi pemilihan umum itu melalui suatu badan yang akan dibentuk oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa;
dan bahwa wakil Belanda telah menyatakan keinginan pemerintahnya untuk mengadakan pemilihan umum itu tidak lewat tanggal 1 Oktober 1949;
melihat pula dengan puas, bahwa Pemerintah Belanda berniat akan menyerahkan kedaulatan kepada Indonesia Serikat jika mungkin pada 1 Januari 1950 atau setidak-tidaknya dalam tahun 1950, dengan kesadaran akan tanggungjawabnya yang utama untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional, dan supaya segala hak, tuntutan, dan kedudukan masing-masing fihak tidak dilanggar dengan kekerasan;
menyerukan kepada Pemerintah Belanda supaya menghentikan segala tindakan militer dengan segera; menganjurkan pada Pemerintah Republik pada waktu yang sama memerintahkan kepada pengikut-pengikutnya yang bersenjata supaya menghentikan perang gerilya; dan menganjurkan kepada kedua belah fihak supaya bekerjasama dalam mengembalikan perdamaian dan menjaga keamanan dan ketertiban di seluruh daerah yang bersangkutan;

menyerukan kepada Pemerintah Belanda supaya membebaskan dengan segera dan tanpa syarat apa pun juga semua tawanan politik yang ditawan olehnya semenjak 19 Desember 1948 dalam Republik Indonesia, dan mempermudah kembalinya dengan segera pejabat-pejabat Pemerintah Republik Indonesia ke Yogyakarta, agar mereka dapat melakukan tugasnya seperti tersebut pada pasal (1) di atas dan agar mereka dapat menjalankan pekerjaannya secara bebas, termasuk tugas pemerintahan di daerah Yogyakarta yang mengenai kota Yogyakarta dan sekitarnya. Pejabat-pejabat Belanda harus memberikan kepada Pemerintah Republik Indonesia segala perlengkapan sepantasnya yang diperlukan oleh pemerintah itu untuk melakukan kewajiban dalam daerah Yogyakarta itu dan untuk dapat berhubungan dan bertukar pikiran dengan lain-lain fihak di Indonesia.

Menganjurkan, supaya, mengingat pentingnya terwujud tujuan dan keinginan kedua belah fihak untuk mendirikan suatu Negara Indonesia Serikat yang merdeka dan berdaulat dan berbentuk federal dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, utusan Pemerintah Belanda dan Pemerintah Republik selekas mungkin mengadakan perundingan, dengan bantuan komisi yang tersebut dalam paragraf 4 di bawah, berdasarkan asas-asas yang terdapat dalam persetujuan Linggajati dan Persetujuan Renville dan mempergunakan apa yang telah disetuhui antara kedua fihak tentang usul-usul yang diajukan padanya oleh wakil-wakil Amerika dalam Komisi Jasa Baik pada tanggal 10 September 1948; dan teristimewa atas dasar-dasar yang berikut:

a) perwujudan Pemerintah Federal Interim yang akan diberi kuasa atas pemerintahan dalam negeri di Indonesia selama masa peralihan (interim period) sebelum penyerahan kedaulatan terjadi itu, harus merupakan hasil perundingan-perundingan tersebut di atas dan dilaksanakan tidak lewat tanggal 15 Maret 1949;
b) pemilihan wakil-wakil yang akan duduk dalam Constituent Assembly hendaknya selesai pada tanggal 1 Oktober 1949; dan
c) penyerahan kedaulatan atas Indonesia oleh Pemerintah Belanda kepada Negara Indonesia Serikat hendaknya dilaksanakan dalam waktu sesingkat-singkatnya dan setidak-tidaknya tidak lewat tanggal 1 Juli 1950;

jikalau tidak tercapai persetujuan satu bulan sebelum tanggal-tanggal yang tersebut pada sub-paragraf (a), (b) dan (c) di atas, maka komisi yang tersebut pada paragraf (a) di bawah, dengan segera harus memberi laporan kepada Dewan Keamanan, dengan menambahkan saran-saran tentang cara penyelesaian kesukaran-kesukaran yang ada;

a) Komisi Jasa Baik selanjutnya akan disebut Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Indonesia (United Nations Commission for Indonesia - UNCI). Komisi itu akan bertindak sebagai wakil Dewan Keamanan di Indonesia dan memegang semua kewajiban yang diberikan kepada Komisi Jasa Baik oleh Dewan Keamanan semenjak 18 Desember 1947 dan juga semua kewajiban yang diberikan padanya oleh resolusi ini. Komisi ini mengambil putusan berdasarkan suara terbanyak, akan tetapi dalam memberikan laporan dan anjuran kepada Dewan Keamanan harus menyebut pula pandangan mayoritas maupun pandangan minoritas, jika ada perbedaan paham antara pada anggota komisi itu.
b) Komisi Konsuler diminta membantu pekerjaan Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Indonesia dengan menyediakan peninjau-peninjau militer dan pegawai-pegawai lainnya serta bantuan lainnya agar komisi dapat melakukan kewajibannya seperti termaktub dalam resolusi sekarang ini, dan untuk sementara waktu menunda segala pekerjaan lainnya.
c) Komisi akan memberi bantuan kepada kedua belah fihak dalam melaksanakan resolusi ini, akan memberi bantuan kepada kedua belah fihak dalam mengadakan perundingan menurut paragraf 3 di atas, dan berhak memberi usul kepada mereka atau kepada Dewan Keamanan tentang hal-hal yang termasuk dalam wewenangnya. Setelah tercapai persetujuan dalam perundingan-perundingan itu, komisi akan memberi anjuran kepada Dewan Keamanan tentang sifat, kekuasaan dan pekerjaan badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang harus tinggal di Indonesia untuk membantu pelaksanaan syarat-syarat persetujuan itu sehingga kedaulatan diserahkan oleh Pemerintah Belanda kepada Negara Indonesia Serikat.
d) Komisi berhak berunding dengan wakil-wakil dari semua daerah di Indonesia di luar daerah Republik dan berhak mengundang wakil-wakil daerah tersebut untuk ikut serta dalam perundingan seperti termaksud dalam paragraf 3 di atas.
e) Komisi atau badan lain dari Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mungkin didirikan menurut usul seperti tersebut pada paragraf 4 © di atas berhak mengawasi atas nama Perserikatan Bangsa-Bangsa, pemilihan umum yang akan diadakan di seluruh Indonesia serta berhak pula mengajukan anjuran mengenai daerah-daerah di Jawa, Madura dan Sumatera tentang syarat-syarat yang perlu supaya (a) memastikan, bahwa pemilihan umum dilaksanakan secara bebas dan demokratis, dan (b) menjamin agar supaya senantiasa ada kebebasan untuk berhimpun, berbicara dan menyampaikan pendapat, asal saja kebebasan itu tidak dipergunakan untuk menghasut melakukan kekerasan atau balas dendam;
f) Komisi harus memberi bantuan mengembalikan selekas mungkin pemerintahan sipil Republik. Untuk hal itu, komisi setelah berunding dengan kedua belah fihak, akan menganjurkan sampai mana daerah-daerah Republik yang ditetapkan menurut perjanjian Renville (di luar daerah Yogyakarta) akan dikembalikan berangsur-angsur kepada Pemerintah Republik, disesuaikan dengan syarat-syarat bagi terjaminnya keamanan dan ketertiban serta keselamatan jiwa dan harta-benda; dan komisi juga akan mengawasi persediaan barang yang dibutuhkan agar pemerintahan dapat berjalan dengan tertib dan untuk menjaga kehidupan rakyat di daerah yang dikembalikan itu. Setelah berunding dengan kedua belah fihak, komisi akan menganjurkan, tentara Belanda mana, jika masih perlu, akan tetap tinggal untuk sementara waktu di daerah yang terletak di luar daerah Yogyakarta untuk membantu menjaga keamanan dan ketertiban.
Jika salah satu fihak tidak dapat menerima anjuran komisi tersebut, komisi dengan segera akan melaporkan hal itu kepada Dewan Keamanan, disertai saran-saran penyelesaian atas segala kesukaran yang ada,
g) Komisi mengirimkan laporan periodik kepada Dewan Keamanan dan laporan istimewa setiap kali dianggap perlu oleh komisi,
h) Komisi akan mempergunakan sejumlah pengawas, opsir dan lain-lain orang yang dianggap perlu.

1. Meminta kepada Sekretaris Jenderal, supaya komisi diberi suatu staf, keuangan dan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh komisi untuk melaksanakan pekerjaannya.
2. Menganjurkan kepada Pemerintah Belanda dan Republik Indonesia, agar memberi bantuan sepenuhnya dalam pelaksanaan ketentuan-ketentuan resolusi ini.

Secara keseluruhan resolusi tersebut menunjukkan sikap lunak negara-negara "Super Power" Barat terhadap Belanda, karena walau bagaimana pun, Belanda adalah sekutu mereka dalam Perang Dunia II . Perang dingin melawan komunisme telah dimulai. Pada waktu itu sedang dilakukan perundingan antara Amerika Serikat dengan negara-negara Eropa Barat, termasuk Belanda, dalam rangka rencana pembentukan Pakta Pertahanan, yaitu North Atlantic Treaty Organization (NATO), untuk menghadapi blok komunis yang dipimpin oleh Uni Sovyet.

Butir satu dan dua dari resolusi tersebut dengan jelas meminta Belanda untuk segera menghentikan aksi militernya di Indonesia, serta dengan segera membebaskan tanpa syarat, semua tahanan politik yang ditahan Belanda sejak 19 Desember 1948. Selain itu, resolusi telah menetapkan agenda penyerahan kedaulatan oleh Pemerintah Belanda kepada Pemerintah Republik Indonesia.

Resolusi itu juga merubah Committee of Good Offices for Indonesia (Komisi Jasa Baik untuk Indonesia), menjadi United Nations Comission for Indonesia -UNCI (Komisi PBB untuk Indonesia -KPBBI), yang mempunyai wewenang lebih besar. Dengan demikian Dewan Keamanan PBB resmi membentuk satu Komisi PBB untuk Indonesia. Merle Cochran dari Amerika Serikat, yang sebelumnya adalah Ketua KTN, diberi kepercayaan lagi untuk menjadi ketua UNCI.

Empat negara anggota Dewan Keamanan tidak menyetujui resolusi tersebut, yaitu Argentina, Prancis, Uni Sovyet dan Ukraina. Wakil Ukraina, Vassily Tarasenko, melancarkan serangan hebat terhadap rencana resolusi itu seluruhnya dan menamakannya suatu "resolusi kapitulasi." Wakil Argentina mengatakan, bahwa Dewan Keamanan seharusnya memberikan dukungan penuh untuk kemerdekaan bangsa Indonesia, sedangkan Yacob A. Malik, wakil Uni Sovyet menyatakan, bahwa resolusi tersebut adalah suatu contoh yang menyolok mata, bagaimana negara-negara Barat memperlakukan negara-negara Timur, yaitu memihak kepada pihak penyerang. Ia menunjuk kepada sikap Belgia, yang dikatakannya mencoba membenarkan tindakan agresi Belanda.


Perencanaan Serangan Umum di Seluruh Wilayah Divisi III.

Sekitar awal Februari 1948 di perbatasan Jawa Timur, Letkol dr. wiliater Hutagalung -yang sejak September 1948 diangkat menjadi Perwira Teritorial dan ditugaskan untuk membentuk jaringan pesiapan gerilya di wilayah Divisi II dan III- bertemu dengan Panglima Besar (Pangsar) guna melaporkan mengenai resolusi Dewan Keamanan PBB dan penolakan Belanda terhadap resolusi tersebut dan melancarkan propaganda yang menyatakan bahwa Republik Indonesia sudah tidak ada lagi. Melalui radio rimbu, Panglima Besar juga telah mendengar berita tersebut. Panglima Besar menginstruksikan untuk memikirkan langkah-langkah yang harus diambil guna mengcounter propaganda Belanda.

Hutagalung, yang membentuk jaringan di wilayah Divisi II dan III, dapat selalu berhubungan dengan Panglima Besar, dan menjadi penghubung antara Panglima Besar dengan Panglima Divisi II, Kolonel Gatot Subroto dan Panglima Divisi III, Kol. Bambang Sugeng. Selain itu, sebagai dokter spesialis paru, setiap ada kesempatan, juga ikut merawat Pangsar yang saat itu menderita penyakit paru. Setelah turun gunung, pada bulan September dan Oktober 1949, Hutagalung dan keluarga tinggal di Paviliun rumah Pangsar di (dahulu) Jl. Widoro No. 10, Yogyakarta.

Pemikiran yang dikembangkan oleh Hutagalung adalah, perlu meyakinkan dunia internasional terutama Amerika Serikat dan Inggris, bahwa Negara Republiok Indonesia masih kuat, ada pemerintahan (Pemerintah Darurat Republik Indonesia – PDRI), ada organisasi TNI dan ada tentaranya. Untuk membuktikan hal ini, maka untuk menembus isolasi, harus diadakan serangan spektakuler, yang tidak bisa disembunyikan oleh Belanda, dan harus diketahui oleh UNCI (United Nations Commission for Indonesia) dan wartawan-wartawan asing untuk disebarluaskan ke seluruh dunia. Untuk menyampaikan kepada UNCI dan para wartawan asing bahwa Negara Republik Indonesia masih ada, diperlukan pemuda-pemuda berseragam Tentara Nasional Indonesia, yang dapat berbahasa Inggris, Belanda atau Perancis. Pangsar menyetujui gagasan tersebut dan menginstruksikan Hutagalung agar mengkoordinasikan pelaksanaan gagasan tersebut dengan Panglima Divisi II dan III.

Letkol dr. Hutagalung masih tinggal beberapa hari guna membantu merawat Panglima Besar, sebelum kembali ke markas di Gunung Sumbing.

Sesuai tugas yang diberikan oleh Panglima Besar, dalam rapat pimpinan tertinggi militer dan sipil di wilayah Gubernur Militer III, yang dilaksanakan pada tanggal 18 Februari 1949 di markas yang terletak di lereng Gunung Sumbing. Selain Gubernur Militer/Panglima Divisi III Kol. Bambang Sugeng, dan Letkol dr. wiliater Hutagalung, juga hadir Komandan Wehrkreis II, Letkol. Sarbini Martodiharjo, dan pucuk pimpinan pemerintahan sipil, yaitu Gubernur Sipil, Mr. K.R.M.T. Wongsonegoro, Residen Banyumas R. Budiono, Residen Kedu Salamun, Bupati Banjarnegara R. A. Sumitro Kolopaking dan Bupati Sangidi.

Letkol dr. Wiliater Hutagalung yang pada waktu itu juga sebagai penasihat Gubernur Militer III menyampaikan gagasan yang telah disetujui oleh Pangsar, dan kemudian dibahas bersama-sama. Inti gagasannya yang dikemukakan sebagai “grand design” adalah:
Serangan dilakukan secara serentak di seluruh wilayah Divisi III, yang melibatkan Wherkreis I, II dan III,
Mengerahkan seluruh potensi militer dan sipil di bawah Gubernur Militer III,
Mengadakan serangan spektakuler terhadap satu kota besar di wilayah Divisi III,
Harus berkoordinasi dengan Divisi II agar memperoleh efek lebih besar,
q Serangan tersebut harus diketahui dunia internasional, untuk itu perlu mendapat dukungan dari
- Wakil Kepala Staf Angkatan Perang guna koordinasi dengan pemancar radio yang dimiliki oleh AURI dan Koordinator Pemerintah Pusat,
- Unit PEPOLIT (Pendidikan Politik Tentara) Kementerian Pertahanan.
Jadi tujuan utama adalah: "Bagaimana menunjukkan eksistensi TNI dan dengan demikian juga menunjukkan eksistensi Republik Indonesia" kepada dunia internasional. Untuk "menunjukkan" eksistensi TNI, maka anggota UNCI, wartawan-wartawan asing serta para pengamat militer harus melihat “perwira-perwira yang berseragam TNI.”

Setelah dilakukan pembahasan yang mendalam, “grand design” yang dimajukan oleh Hutagalung disetujui, dan khusus mengenai "serangan spektakuler" terhadap satu kota besar, Panglima Divisi III/GM III Kolonel Bambang Sugeng bersikukuh, bahwa yang harus diserang secara spektakuler adalah Yogyakarta.

Tiga alasan penting yang dikemukakan Bambang Sugeng untuk memilih Yogyakarta sebagai sasaran utama adalah:
Yogyakarta adalah Ibukota RI, sehingga bila dapat "direbut" walau hanya untuk beberapa jam, akan sangat berpengaruh besar.
Keberadaan banyak wartawan asing di Hotel Merdeka Yogyakarta,
serta masih adanya anggota delegasi UNCII (KTN) serta pengamat militer dari PBB.

Langsung di bawah wilayah Divisi III/GM III sehingga tidak perlu persetujuan Panglima/GM lain dan semua pasukan memahami dan menguasai situasi/daerah operasi.
Selain itu, sejak dikeluarkan Perintah Siasat tertanggal 1 Januari 1949 dari Panglima Divisi III/Gubernur Militer III, untuk selalu mengadakan serangan terhadap tentara Belanda, telah dilancarkan beberapa serangan umum di wilayah Divisi III/GM III. Seluruh Divisi III dapat dikatakan telah "terlatih" dalam menyerang pertahanan tentara Belanda.

Selain itu, sejak dimulainya perang gerilya, pimpinan pemerintah sipil dari mulai Gubernur Wongsonegoro serta para Residen dan Bupati, selalu diikutsertakan dalam rapat dan pengambilan keputusan yang penting dan kerjasama selama ini sangat baik. Oleh karena itu, dapat dipastikan dukungan terutama untuk logistik dari seluruh rakyat. Mengenai Wongsonegoro, Nasution menulis:

“Gubernur Wongsonegoro memberikan contoh yang baik sebagai gubernur gerilya. Ia dengan tabah mengikuti Markas Gubernur Militer yang sering berpindah-pindah di gunung-gunung.”

Selanjutnya dibahas, pihak-pihak mana serta siapa saja yang perlu dilibatkan. Untuk "skenario" seperti disebut di atas, akan dicari beberapa pemuda berbadan tinggi dan tegap, yang lancar berbahasa Belanda, Inggris atau Prancis dan akan dilengkapi dengan seragam perwira TNI dari mulai sepatu sampai topi. Mereka sudah harus siap di dalam kota, dan pada waktu penyerangan telah dimulai, mereka harus masuk ke Hotel Merdeka guna "menunjukkan diri" kepada anggota-anggota UNCI serta wartawan-wartawan asing yang berada di hotel tersebut. Kolonel Wiyono, Pejabat Kepala Bagian PEPOLIT (Pendidikan Politik Tentara) Kementerian Pertahanan yang juga berada di Gunung Sumbing akan ditugaskan mencari pemuda-pemuda yang sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan, terutama yang fasih berbahasa Belanda dan Inggris.

Hal penting yang kedua adalah, dunia internasional harus mengetahui adanya Serangan Tentara Nasional Indonesia terhadap tentara Belanda, terutama terhadap Yogyakarta, Ibukota Republik. Pertanyaannya adalah: "Bagaimana menyebarluaskan ke dunia internasional?" Untuk hal ini, akan diminta bantuan Kol. T.B. Simatupang yang bermarkas di Pedukuhan Banaran, desa Banjarsari, untuk menghubungi pemancar radio Angkatan Udara RI (AURI) di Playen, dekat Wonosari, agar setelah serangan dilancarkan, berita mengenai penyerangan besar-besaran oleh TNI atas Yogyakarta segera disiarkan. Dalam kapasitasnya sebagai Wakil Kepala Staf Angkatan Perang, Simatupang lebih kompeten menyampaikan hal ini kepada pihak AURI daripada perwira Angkatan Darat.

Diperkirakan, apabila Belanda melihat bahwa Yogyakarta diserang secara besar-besaran, dipastikan mereka akan mendatangkan bantuan dari kota-kota lain di Jawa Tengah, dimana terdapat pasukan Belanda yang kuat, seperti Magelang, Semarang dan Solo. Jarak tempuh (waktu itu) Magelang - Yogya hanya sekitar 3 - 4 jam saja; Solo - Yogya, sekitar 4 - 5 jam, dan Semarang - Yogya, sekitar 6 - 7 jam.

Magelang dan Semarang (bagian Barat) berada di wilayah kewenangan Divisi IIIGM III, namun Solo, di bawah wewenang Panglima Divisi II/GM II Kolonel Gatot Subroto. Oleh karena itu, serangan di wilayah Divisi II dan III harus dikoordinasikan dengan baik sehingga dapat dilakukan operasi militer bersama dalam kurun waktu yang ditentukan, sehingga bantuan Belanda dari Solo dapat dihambat, atau paling tidak, dapat diperlambat.

Pimpinan pemerintahan sipil, Gubernur Wongsonegoro, Residen Budiono, Residen Salamun, Bupati Sangidi dan Bupati Sumitro Kolopaking, ditugaskan untuk mengkoordinasi persiapan dan pasokan perbekalan di wilayah masing-masing. Pada waktu bergerilya, para pejuang sering harus selalu pindah tempat, sehingga sangat tergantung dari bantuan rakyat dalam penyediaan perbekalan. Selama perang gerilya, bahkan Camat, Lurah serta Kepala Desa sangat berperan dalam menyiapkan dan memasok perbekalan (makanan dan minuman) bagi para gerilyawan. Ini semua telah diatur dan ditetapkan oleh pemerintah militer setempat.

Untuk pertolongan dan perawatan medis, diserahkan kepada PMI. Peran PMI sendiri juga telah dipersiapkan sejak menyusun konsep Perintah Siasat Panglima Besar. Dalam konsep Pertahanan Rakyat Total -sebagai pelengkap Perintah Siasat No. 1- yang dikeluarkan oleh Staf Operatif (Stop) tanggal 3 Juni 1948, butir 8 menyebutkan:
Kesehatan terutama tergantung kepada Kesehatan Rakyat dan P.M.I. karena itu evakuasi para dokter dan rumah obat mesti menjadi perhatian.

Walaupun dengan risiko besar, Sutarjo Kartohadikusumo, Ketua DPA yang juga adalah Ketua PMI (Palang Merah Indonesia), mengatur pengiriman obat-obatan bagi gerilyawan di front. Beberapa dokter dan staf PMI kemudian banyak yang ditangkap oleh Belanda dan ada juga yang mati tertembak sewaktu bertugas.

Setelah rapat selesai, Komandan Wehrkreis II dan para pejabat sipil pulang ke tempat masing-masing guna mempersiapkan segala sesuatu, sesuai dengan tugas masing-masing. Kurir segera dikirim untuk menyampaikan keputusan rapat di Gunung Sumbing pada 18 Februari 1949 kepada Panglima Besar Sudirman dan Komandan Divisi II/Gubernur Militer II Kolonel Gatot Subroto.

Sebagaimana telah digariskan dalam pedoman pengiriman berita dan pemberian perintah, perintah yang sangat penting dan rahasia, harus disampaikan langsung oleh atasan kepada komandan pasukan yang bersangkutan. Maka rencana penyerangan atas Yogyakarta yang ada di wilayah Wehrkreis I di bawah pimpinan Letkol. Suharto, akan disampaikan langsung oleh Panglima Divisi III Kolonel Bambang Sugeng. Kurir segera dikirim kepada Komandan Wehrkreis III/Brigade 10 Letkol. Suharto, untuk memberitahu kedatangan Panglima Divisi III serta mempersiapkan pertemuan.

Diputuskan untuk segera berangkat sore itu juga guna menyampaikan "grand design" kepada pihak-pihak yang terkait. Ikut dalam rombongan Panglima Divisi selain Letkol. dr. Hutagalung, antara lain juga dr. Kusen (dokter pribadi Bambang Sugeng), Bambang Surono (adik Bambang Sugeng), seorang mantri kesehatan, seorang supir dari dr. Kusen, Letnan Amron Tanjung (ajudan Letkol Hutagalung) dan beberapa anggota staf Gubernur Militer (GM) serta pengawal.

Pertama-tama rombongan singgah di tempat Kol. Wiyono dari PEPOLIT, yang bermarkas tidak jauh dari markas Panglima Divisi, dan memberikan tugas untuk mencari pemuda berbadan tinggi dan tegap serta fasih berbahasa Belanda, Inggris atau Prancis, yang akan diberi pakaian perwira TNI. Menjelang sore hari, Panglima Divisi beserta rombongan tiba di Pedukuhan Banaran mengunjungi Wakil Kepala Staf Angkatan Perang Kol. Simatupang. Selain anggota rombongan Bambang Sugeng, dalam pertemuan tersebut hadir juga Mr. M. Ali Budiarjo, yang kemudian menjadi ipar Simatupang. Dalam catatan harian tertanggal 18 Februari 1949, Simatupang menulis (Lihat catatan harian T.B. simatupang: “Laporan dari Banaran”, Jakarta 1960, halaman 60):

"Kolonel Bambang Soegeng yang sedang mengunjungi daerah Yogyakarta (dia adalah Gubernur Militer daerah Yogyakarta-Kedu-Banyumas-Pekalongan-sebagian dari Semarang) datang dan bermalam di Banaran.

Soegeng adalah orang yang emosional dan bagi dia tidaklah memuaskan apabila Yogyakarta nanti dikembalikan begitu saja kepada kita. Idenya ialah: Yogya harus direbut dengan senjata. Paling sedikit dia ingin bahwa Yogyakarta kita serang secara besar-besaran agar menjadi jelas bagi sejarah bahwa sekalipun Yogyakarta ditinggalkan oleh Belanda, namun kita tidak menerima kota itu sebagai hadiah saja. Paling sedikit dia mau membuktikan bahwa kita mempunyai kekuatan untuk menjadikan kedudukan Belanda di kota tidak tertahan (onhoudbar).

Demikianlah kurang lebih jalan pikiran dan perasaan dari Bambang Soegeng yang dapat saya tangkap dari pembicaraan-pembicaraan dengan dia waktu berada di Banaran.

Saya jelaskan bahwa hari dan cara penyerahan Yogyakarta kepada kita belum lagi ditentukan, sehingga masih ada cukup waktu untuk melancarkan serbuan atas Yogyakarta.

Sama sekali tidak ada larangan untuk menyerang dan ditinjau dari segi diplomasi, maka saya anggap bahwa setiap serangan yang spektakuler, justru dapat memperkuat kedudukan kita.

Dengan Kolonel Soegeng masih saya bicarakan berapa kekuatan yang dapat dikumpulkannya untuk serangan itu, bagaimana rencananya dan seterusnya."

Simatupang dimohon untuk mengkoordinasi pemberitaan ke luar negeri melaui pemancar radio Auri di Playen dan di Wiladek, yang ditangani oleh Koordinator Pemerintah Pusat.

Setelah Simatupang menyetujui rencana grand design tersebut, Panglima Divisi segera mengeluarkan instruksi rahasia yang ditujukan kepada Komandan Wehrkreis I Kolonel Bachrun, yang akan disampaikan sendiri oleh Kol. Sarbini. Bunyi instruksi rahasia tertanggal 18 Februari 1949 adalah (copy asli, lihat lampiran/attachment):


STAF DIVISI III/G.M.III
INSTRUKSI RAHASIA
Tanggal: 18/II/1949

Berkenaan dengan Instruksi Rahasia yang diberikan kepada Cdt. Daerah III (Letn. Koln. Suharto, untuk mengadakan gerakan serangan besar-besaran terhadap Ibukota yang akan dilakukan antara tanggal 25/II/1949 s/d. 1/III/1949 dengan mempergunakan bantuan pasukan dari Brigade IX.
Dengan ini diperintahkan kepada:
Comandant Daerah I
Untuk : 1. Pada waktu bersamaan dengan tanggal tersebut di atas (25/II/1949
s/d. 1/III/1949 mengadakan serangan-serangan serentak terhadap
salah satu obyek musuh di Daerah I untuk mengikat perhatian musuh
dan mencegah balabantuan untuk Yogyakarta.
2. Selesai.
Dikeluarkan di : tempat
Tanggal : 18-II-1949.
Jam : 20.00
(tandatangan)
Gub.Mil III/Panglima Div.III
(Kolonel Bambang Sugeng)
Brigade IX di bawah komando Letkol Achmad Yani, diperintahkan melakukan penghadangan terhadap bantuan Belanda dari Magelang ke Yogyakarta.

Tanggal 19 Februari Panglima Divisi dan rombongan meneruskan perjalanan, yang selalu dilakukan pada malam hari dan beristirahat pada siang hari, untuk menghindari patroli Belanda. Penunjuk jalan juga selalu berganti di setiap desa. Dari Banaran rombongan menuju wilayah Wehrkreis III melalui pegunungan Menoreh, untuk menyampaikan perintah kepada Komandan Wehrkreis III Letkol. Suharto. Bambang Sugeng beserta rombongan mampir di Pengasih, tempat kediaman mertua Bambang Sugeng dan masih sempat berenang di telaga yang ada di dekat Pengasih (Keterangan dari Bambang Purnomo, adik kandung alm. Bambang Sugeng, yang kini tinggal di Temanggung).

Pertemuan dengan Letkol. Suharto berlangsung di Brosot, dekat Wates. Semula pertemuan akan dilakukan di dalam satu gedung sekolah, namun karena kuatir telah dibocorkan, maka pertemuan dilakukan di dalam sebuah gubug di tengah sawah. Hadir dalam pertemuan tersebut lima orang, yaitu Panglima Divisi III/Gubernur Militer III Kol. Bambang Sugeng, Perwira Teritorial Letkol. dr. Wiliater Hutagalung beserta ajudan Letnan Amron Tanjung, Komandan Wehrkreis III/Brigade X Letkol. Suharto beserta ajudan. Kepada Suharto diberikan perintah untuk mengadakan penyerangan antara tanggal 25 Februari dan 1 Maret 1949. Kepastian tanggal baru dapat ditentukan kemudian, setelah koordinasi serta kesiapan semua pihak terkait, antara lain dengan Kol. Wiyono dari Pepolit Kementerian Pertahanan.

Mengenai pemberian tugas kepada Letkol Suharto, dalam otobiografinya dr. Hutagalung menulis:
… Sesampainya di wilayah Brigade X, kepada kami diberitahukan, bahwa pertemuan akan diadakan di salah satu sekolah desa. Oleh karena ada hal yang mencurigakan, pertemuan dipindahkan ke sebuah gubug di tengah sawah. Pertemuan tersebut dihadiri oleh 5 (lima) orang, yakni Panglima Divisi/Gubernur Militer Kolonel Bambang Soegeng, Perwira Teritorial Letkol. Dr.W.Hutagalung beserta ajudan, Letnan Amron Tanjung dan Komandan Brigade X Letkol. Soeharto beserta ajudan.
… Sesampainya di wilayah Brigade X, kepada kami diberitahukan, bahwa pertemuan akan diadakan di salah satu sekolah desa. Oleh karena ada hal yang mencurigakan, pertemuan dipindahkan ke sebuah gubug di tengah sawah. Pertemuan tersebut dihadiri oleh 5 (lima) orang, yakni Panglima Divisi/Gubernur Militer Kolonel Bambang Soegeng, Perwira Teritorial Letkol. Dr.W.Hutagalung beserta ajudan, Letnan Amron Tanjung dan Komandan Brigade X Letkol. Soeharto beserta ajudan.

Panglima Divisi membuka rapat dengan kata-kata :”Bersama ini rapat dibuka dan dipersilahkan Dr.Hutagalung untuk menguraikan tujuan”.
Penulis berdiri serta mengulurkan tangan kepada Komandan Brigade X Letkol. Soeharto dan mengatakan :”Saudara Soeharto, saya ucapkan selamat pada saudara Soeharto oleh karena ditakdirkan untuk memegang peranan penting dalam perjuangan kita. Nama saudara Soeharto akan dicantumkan dengan tinta emas dalam sejarah perjuangan untuk kemerdekaan Republik Indonesia”

Setelah duduk kembali, penulis meneruskan dan menguraikan tentang sidang di gunung Sumbing yang dihadiri pimpinan pemerintahan sipil dan militer serta pertemuan dengan Wakil KSAP Kolonel Simatupang, dengan keputusan :

1. Perlu melancarkan serangan “spektakuler” untuk meyakinkan dunia pada umumnya, khususnya Amerika Serikat, bahwa Negara Republik Indonesia masih ada, mempunyai wilayah pemerintahan, organisasi dan kekuatan militer. Agar Amerika Serikat mempertegas dukungan terhadap resolusi PBB, serta menghentikan bantuan keuangan dan persenjataan pada Belanda yang sebenarnya sudah bangkrut.

2. Memilih kota Yogyakarta sebagai sasaran, dan menugaskan Komandan Brigade X/Wehrkreis lll, Letnan Kolonel Soeharto untuk melaksanakan rencana ini.


Kemudian penulis mengajukan pertanyaan: “Siapkah Saudara Soeharto untuk melaksanakannya ?”
Dijawab : “Siap!”

Setelah itu diurakan secara rinci pembicaraan dalam rapat di lereng Gunung Sumbing dan di Banaran, terutama mengenai tujuan yang ingin dicapai, yaitu agar supaya pemuda-pemuda berseragam Tentara Nasional Indonesia yang bisa berbahasa Inggris, Belanda atau Perancis dapat masuk ke Hotel Merdeka, guna berbicara dengan wartawan-wartawan asing yang berada di Hotel tersebut. Diperoleh informasi, bahwa utusan Dewan Keamanan PBB, United Nations Commission for Indonesia (UNCI) masih berada di Yogyakarta. Harus diusahakan agar mereka dapat melihat Tentara Nasional Indonesia. Mengenai persiapan dengan pemuda-pemuda tersebut, harus dikoordinasikan dengan saudara Wijono dari Pepolit. Serangan harus dilaksanakan antara tanggal 25 Februari dan 1 Maret 1949, agar supaya sesuai dengan instruksi yang telah dikeluarkan oleh Panglima Divisi kepada Komandan-Komandan pasukan lainnya di sekitar Yogyakarta ...

Setelah semua persiapan matang, baru kemudian diputuskan (keputusan diambil tanggal 24 atau 25 Februari), bahwa serangan tersebut akan dilancarkan tanggal 1 Maret 1949, pukul 06.00. Instruksi segera diteruskan ke semua pihak yang terkait.

No comments:

Post a Comment